PENGERTIAN DAN SEJARAH HUKUM PERDATA
PENGERTIAN HUKUM PERDATA
HUKUM PERDATA
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN
HUKUM PERDATA
Istilah hukum perdata pertama
kali diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai teremahan dari burgerlijkrecht
pada masa penduduka jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata
adalah civielrecht dan privatrecht.
Para ahli memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut. Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke -19 adalah:
“suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat ecensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum public memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Pendapat lain yaitu Vollmar, dia mengartikan hukum perdata adalah:
“aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan prseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengna kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para ahli di atas, kajian utamnya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang satu degan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
Di dalam hukum perdata terdapat 2 kaidah, yaitu:
1. Kaidah tertulis
Kaidah hukum perdata tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
2. Kaidah tidak tertulis
Kaidah hukum perdata tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan)
Subjek hukum dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Manusia
Manusia sama dengan orang karena manusia mempunyai hak-hak subjektif dan kewenangan hukum.
2. Badan hukum
Badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban.
Subtansi yang diatur dalam hukum perdata antara lain:
1. Hubungan keluarga
Dalam hubungan keluarga akan menimbulkan hukum tentang orang dan hukum keluarga.
2. Pergaulan masyarakat
Dalam hubungan pergaulan masyarakat akan menimbulakan hukum harta kekayaan, hukum perikatan, dan hukum waris.
Dari berbagai paparan tentang hukum perdata di atas, dapat di temukan unsur-unsurnya yaitu:
1. Adanya kaidah hukum
2. Mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain.
3. Bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi hukum orang, hukum keluarga, hukum benda, hukum waris, hukum perikatan, serta hukum pembuktia dan kadaluarsa.
B. HUKUM PERDATA MATERIIL DI INDONESIA
Hukum perdata yang berlaku di Indonesi beranekaragam, artinya bahwa hukum perdata yang berlaku itu terdiri dari berbagai macam ketentuan hukum,di mana setiap penduduk itu tunduk pada hukumya sendiri, ada yang tunduk dengan hukum adat, hukum islam , dan hukum perdata barat. Adapun penyebab adanya pluralism hukum di Indonesia ini adalah
1. Politik Hindia Belanda
Pada pemerintahan Hindia Belanda penduduknya di bagi menjadi 3 golongan:
a. Golongan Eropa dan dipersamakan dengan itu
b. Golongan timur asing. Timur asing dibagi menjadi Timur Asing Tionghoa dan bukan Tionghoa, Seperti Arab, Pakistan. Di berlakukan hukum perdata Eropa, sedangkan yang bukan Tionghoa di berlakukan hukum adat.
c. Bumiputra,yaitu orang Indonesia asli. Diberlakukan hukum adat.
Konsekuensi logis dari pembagian golongan di atas ialah timbulnya perbedaan system hukum yang diberlakukan kepada mereka.
2. Belum adanya ketentuan hukum perdata yang berlaku secara nasional.
C. SUMBER HUKUM PERDATA TERTULIS
Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam:
1. Sumber hukum materiil
Sumber hukum materiil adalah tempat dari mana materi hukum itu diambil. Misalnya hubungan social,kekuatan politik, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, dan keadaan georafis.
2. Sumber hukum formal
Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku.
Volamar membagi sumber hukum perdata menjadi empat mecam. Yaitu KUHperdata ,traktat, yaurisprudensi, dan kebiasaan. Dari keempat sumber tersebut dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu sumber hukum perdata tertulis dan tidak tertulis. Yang di maksud dengan sumber hukum perdata tertulis yaitu tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya kaidah hukum perdata tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-undanang, traktat, dan yurisprudensi. Sumber hukum perdata tidak tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis. Seperti terdapat dalam hukum kebiasaan.
Yang menjadi sumber perdata tertulis yaitu:
1. AB (algemene bepalingen van Wetgeving) ketentuan umum permerintah Hindia Belanda
2. KUHPerdata (BW)
3. KUH dagang
4. UU No 1 Tahun 1974
5. UU No 5 Tahun 1960 Tentang Agraria.
Yang dimaksud dengan traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua Negara atau lebih dalam bidang keperdataan. Trutama erat kaitannya dengan perjanjian internasioanl. Contohnya, perjanjian bagi hasil yang dibuat antara pemerintah Indonesia denang PT Freeport Indonesia.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan meruapakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pidahk-pihak yang berperkara terutama dalam perkara perdata. Contohnya H.R 1919 tentang pengertian perbuatan melawan hukum . dengna adanya putsan tersebut maka pengertian melawan hukum tidak menganut arti luas. Tetapi sempit. Putusan tersebut di jadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia dalam memutskan sengketa perbutan melawan hukum.
D. SEJARAH HUKUM PERDATA
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia.
Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
• BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
• WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
Sejarah
Hukum Perdata
Sejarah
Perkembangan hukum Perdata di Indonesia tidak terlepas dari sejarah
perkembangan Ilmu Hukum di negara-negara Eropa lainnya, dalam arti perkembangan
hukum perdata di indonesia amat dipengaruhi oleh perkembangan hukum di
negara-negara lain, terutama yang mempunyai hubungan langsung. Indonesia
sebagai negara yang berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda; Belanda,maka
kebijakan-kebijakan dalam hukum perdata tidak terlepas dari kebijakan yang
terjadi dan diterapkan di negara Belanda. Sementara itu Belanda pernah dijajah
oleh Perancis, maka secara otomatis apa yang terjadi dalam perkembangan hukum
di negara Perancis amat berpengaruh dengan kebijakan hukum di negara Belanda.
Sarjana-sarjana Perancis banyak yang
mempelajari hukumnya di negara Romawi, maka pengaruh hukum Romawi juga amat
dominan.
Menurut Kansil ( 1993 : 63 ), tahun
1848 menjadi tahun yang amat penting dalam sejarah hukum Indonesia. Pada tahun
ini hukum privat yang berlaku bagi golongan hukum Eropa dikodifikasi, yakni
dikumpulkan dan dicantumkan dalam beberapa kitab undang-undang berdasarkan
suatu sistem tertentu. Dalam pembuatan kodifikasi dipertahankan juga asas
konkordasi, resikonya hampir semua hasil kodifikasi tahun 1848 di Indonesia
adalah tiruan hasil kodifikasi yang telah dilakukan di negeri Belanda pada
tahun 1838, tetapi diadakan beberapa perkecualian agar dapat menyesuaikan hukum
bagi golongan hukum Eropa di Indonesia dengan keadaan istimewa.
Adapun yang dimaksud dengan asas
konkordasi adalah asas penyesuaian atau asas persamaan terhadap berlakunya
sistem hukum di Indonesia yang berdasarkan pada ketentuan pasal 131 ayat ( 2 )
I.S. yang berbunyi “ Untuk golongan bangsa Belanda untuk itu harus dianut atau
dicontoh undang-undang di negeri Belanda. Hal ini menurut Kansil ( 1993 : 115 )
berarti bahwa hukum yang berlaku bagi
orang-orang Belanda di Indonesia harus disamakan dengan hukum yang berlaku di
negeri Belanda. Jadi selarasnya hukum kodifikasi di Indonesia dengan hukum
kodifikasi di negeri Belanda adalah berdasarkan asas konkordasi.
Sumber pokok Hukum Perdata ialah Kitab Undang-Undang Hukum
Sipil ( BW ) disingkat KUHS. KUHS
sebagian besar adalah hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon tahun
1811-1838 akibat pendudukan Perancis di Belanda berlaku, maka Hukum Perdata
berlaku di negeri Belanda sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Sipil yang resmi.
Sedangkan dari Code Napoleon ini adalah Code Civil yang dalam penyusunannya
mengambil karangan-karangan pengarang-pengarang bangsa Perancis tentang Hukum
Romawi (Corpus Juris Civilis ) yang pada jaman dahulu dianggap sebagai hukum
yang paling sempurna. Peraturan-peraturan yang belum ada pada jaman Romawi tidak dimasukkan dalam Code Civil, tetapi
dalam kitab tersendiri ialah Code de Commerce.
Setelah pendudukan Perancis berakhir
oleh pemerintah Belanda dibentuk suatu panitia yang diketuai Mr. J.M. Kemper
dan bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata Belanda dengan
menggunakan sebagai sumber sebagian besar “ Code Napoleon” dan sebagian kecil
hukum Belanda Kuno.
Meskipun penyusunan sudah selesai
sebelum 5 Juli 1830, tetapi Hukum Perdata Belanda baru diresmikan pada 1
Oktober 1838. Pada tahun itu dikeluarkan:
1. Burgerlijk Wetboek ( KUH Sipil )
2. Wetboek van Koophandel ( KUH Dagang )
Berdasarkan asas konkordasi,
kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata
Eropa di Indonesia. Kodifikasi ini diumumkan tanggal 30-4-1847 Staatsblad No.23
dan mulai berlaku 1 mei 1848 di Indoensia.
Adapun dasar hukum berlakunya
peraturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Indonesia adalah pasal II Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, bahwa segala badan negara
dan peraturan yang ada masinh langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini. Dengan demikian sepanjang belum ada peraturan
yang baru, maka segala jenis dan bentuk hukum yang ada yang merupakan
peninggalan dari jaman kolonial masih dinyatakan tetap berlaku. Hal ini
termasuk keberadaan Hukum Perdata. Hanya saja dalam pelaksanannya yang
menyangkut keberlakuan hukum perdata ini disesuaikan dengan azas dan falsafah
negara Pancasila, termasuk apabila telah lahir peraturan perundang-undangan
yang baru, maka apa yang ada dalam KUH Perdata tersebut dinyatakan tidak
berlaku. Contohnya masalah tanah yang telah ada Undang-undang Nomor 5 tahun
1960 tentang Pokok-pokok Agraria, terutama yang mengenai Bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,kecuali ketentuan-ketentuan yang
mengenai hipotek yang masih berlaku pada mulainya berlaku undang-undang
ini; begitu juga masalah Perkawinan yang
telah ada Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Perkawinan.
Ketentuan lain adalah dengan
keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 3 tahun 1963 yang menyatakan bebera
pasal yang ada dalam KUH perdata dinyatakan tidak berlaku lagi. Adapun
pasal-pasal tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Pasal 108 s.d. 110 tentang
ketidakwenangan bertindak dari istri : konsekweinsinya suami istri
mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum. Hal ini diperkuat oleh bunyi pasal
31 Undang-undang nomort 1 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan yang
menyatakan bahwa hak dan kedudukan isteri
adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;masing-masing pihak (suami
isteri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum
b. Pasal 284 ayat (3) tentang pengakuan anak luar
kawin yang lahir dari wanita Indonesia Asli konsekwensinya : Tidak
menimbulkan putusnya hubungan hukum antara ibu dan anak; Dengan adanya
pengakuan terhadap anak luar kawin ini, maka dia mendapatkan hak untukmewaris
dari orang tuanya yang meninggal, misalnya kalau dia bersama-sama dengan
golongan 1, dia akan mendapatkan bagian 1/3 nya, sedangkan bila dia
bersama-sama dengan golongan 2, dia akan mendapatkan bagian ½ dari harta
warisan yang ditinggalkan pewaris tersebut.
c. Pasal 1579 : yang menentukan bahwa dalam sewa
menyewa barang, pemilik tidak dapat menghentikan sewa dengan alasan akan
memakainya sendiri barangnya. Konsekwensinya : boleh menghentikan,
sekalipun demikian apabila si pemilik akan memakai kembali barang yang
disewakannya tersebut, sementara si penyewa masih mempunyai hak,maka si pemilik
harus memberikan kompensasi atau ganti kerugian kepada si penyewa sesuai dengan
kesepakatan bersama, sehingga si penyewa tidak merasa dirugikan.
d. Pasal 1682 yang
mengharuskan penghibahan dengan akta notaris. Konsekwensinya tidak
mengharuskan penghibahan melalui akte notaris, ini juga berarti bahwa apabila
terjkadi proses hibah tidak perlu dilakukan melalui akte notaris, namun
saksi-saksi sebagai bukti harus tetap ada.
e. Pasal 1238 yang menentukan, bahwa pelaksanaan
suatu perjanjian hanya dapat diminta di depan hakim, jika didahului dengan
penagihan tertulis. Konsekwensinya : tidak harus didahului dengan penagihan
tertulis
f. Pasal 1460 tentang resiko dalam perjanjian
jual beli barang ditentukan resiko ada pada pembeli. Konsekwensinya resiko
ditanggung bersama, artinya baik si pembeli maupun si penjual sama menanggung
resiko, bahkan bila terdapat cacat barang yang tersembunyi tidak tertutup
kemungkinan resiko tersebut menjadi tanggung jawab si penjual seluruhnya.
Sebaliknya bila terjadi kasus overmacht atau keadaan memaksa, resiko bisa
menjadi tanggungan si pembeli seluruhnya.Jadi mengenai resiko dari perjanjian
jual beli amat tergantung dari persetujuan bersama, kecuali hal-hal yang diatur
secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.
g. Pasal 1630 yang mengadakan diskriminasi antara
orang Eropa dan bukan Eropa dalam perjanjian perburuhan. Konsekwensinya tidak ada
diskriminasi dalam perburuhan.
Bagaimana kondisi atau keadaan hukum perdata di Indonesia
saat ini ? Keadaan Hukum Perdata di Indonesia dari dahulu sampai dengan
sekarang tidak ada keseragaman ( Pluranisme ). Hal ini dikarenakan adanya
kebijakan tentang pembagian penduduk di Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1. WNI asli ( dahulu Bumi Putera ) berlaku Hukum
Perdata Adat, yaitu keseluruhan aturan-aturan hukum yang tidak tertulis. Namun
ada beberapa pasal dalam KUH Perdata dan KUHD yang dinyatakan berlaku bagi WNI
asli tersebut, yaitu :
a. Pasal-pasal yang berhubungan dengan pembagian
kerja lama, yaitu: pasal 1601 tentang : persetujuan-persetujuan untuk melakukan
jasa-jasa yang diatur dalam ketentuan-ketentuan khusus;1602 tentang kewajiban
majikan dalam membayar upah pada buruh;1603 tentang kewajiban-kewajiban buruh.
Selain itu ada juga pasal-pasal tentang perjanjian kerja baru yang khusus
berlaku bagi golongan Eropa, yaitu pasal-pasal yang terdapat dalam Titel 7 A
Buku III BW ).
b. Pasal-pasal tentang permainan dan pertauran (
perjudian ) yaitu pasal-pasal: 1788 ( Undang-undang tidak memberikan suatu
tuntutan hukum dalam halnya suatu utang yang terjadi karena perjudian atau
pertaruhan); 1789 ( Dalam ketentuan tersebut
di atas tidak termasuk permainan-permainan yang dapat dipergunakan untuk
olah ragam, seperti main anggar lari cepat dsb); 1790 ( Tidaklah diperbolehkan
untuk menyingkiri berlakunya ketentuan-ketentuan kedua pasal yang lalu dengan
jalan perjumpaan utang ) dan 1791 ( Seorang yang secara sukarela telah membayar
kekalahannya sekali-sekali tak diperbolehkan menuntutnya kembali kecuali
apabila dari pihaknya pemenang telah dilakukan kecurangan atau penipuan ).
c. Pasal-pasal dari KUHD tentang Hukum Laut
2. WNI Keturunan Eropa berlaku Hukum Perdata Barat,
termasuk WvK. Adapun yang dimaksud golongan Eropa menurut Soediman
Kartohadiprodjo ( 1987:58) adalah :
a. semua warga negara Nederland
b. kesemuanya orang, tidak termasuk yang disebut (1)
di atas yang berasal dari Eropa
c. Kesemuanya warga negara Jepang
d. Kesemuanya orang
di luar 1 dan 2 yang hukum keluarganya sama dengan hukum Belanda
e. Anak-anak dari 2 dan 3 yang lahir di Indonesia
2. WNI Keturunan Timur Asung :
a. Non Tionghoa : Berlaku Hukum Perdata yang
ditetapkan berdasarkan Lembaran Negara 1925 nomor 556 yaitu yang memberlakukan
sebagian dari BW dan WvK, yaitu bagian-bagian yang mengenai Hukum Harta
Kekayaan dan Hukum Waris yang dengan surat wasiat. Yang lainnya berlaku Hukum
Adatnya, yaitu menurut Jurisprudensi tetap di Indonesia ialah Hukum Perdata
Adat dari orang-orang Timur Asing yang tumbuh di Indonesia.
b. Tionghoa : Diberlakukan Hukum Perdata sebagaimana
diatur dalam LN 1925 nomor 557 yaitu berlaku seluruh Hukum Perdata (BW) dan WvK
dengan pengecualian dan penambahan :
1) Pengecualiannya
: Pasal-pasal mengenai upacara perkawinan dan mengenai pencegahan
(penahanan ) perkawinan dari BW tidak berlaku bagi mereka ,karena mereka tetap
tunduk kepada hukum adatnya sendiri.
2) Penambahannya
: Peraturan-peraturan mengenai pengangkatan anak (adopsi) dan Kongsi (badan
perdagangan ). Lembaga adopsi ini menjadi sangat penting mengingat masayarakat
Tionghoa menarik garis keturunan laki-laki, sementara dalam BW tidak diatur
mengenai lembaga adopsi.
Untuk mengurangi masalah pluralisme
hukum perdata di Indonesia, Pemerintahan Kolonial Belanda mengeluarkan
serangkaian kebijakan yang termuat dalam pasal 131 IS. Kebijakan ini dikenal
dengan nama politik hukum pemerintah
Belanda yang lengkapnya berbunyi :
1. Hukum Perdata dan dagang (begitu pula Hukum Pidana
beserta Hukum Acara Perdata dan Pidana ) harus diletakkan dalam kitab-kitab
undang-undang yang dikodifisir ( asas kodifikasi )
2. Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh)
perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (asas konkordasi )
3. Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur
asing (tionghoa,Arab dsb ) jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka
menghendakinya, dapat menggunakan peraturan yang berlaku bagi golongan Eropa.
4. Orang Indonesia asli dan Timur Asing sepanjang
mereka belum ditundukkan di bawah peraturan bersama dengan bangsa Eropa,
diperbolehkan menundukkan diri (onderwepen).
5. Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di
dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang
berlaku bagi mereka, yaitu Hukum Adat.
Dengan demikian jelaslah, bahwa
pasal 131 IS memuat dasar politik hukum mengenai hukum perdata, hukum pidana
serta hukum acara perdata dan pidana. Dalam ayat (2) pasal 131 IS disebut
perkataan “ Europeanen” (sub a ) dan Indonesiers en Vreemde Oosterlingen ( sub.
b ), dengan ketentuan nampak, bahwa IS dalam politik hukumnya tidak bersandar
pada satu hukum, melainkan menentukan akan berlakunya lebih dari satu sistem
hukum di Indonesia. Sistem Hukum untuk Europeanen “ dan sistem hukum untuk Indonesiers
dan Vreemde Oosterlingen, yaitu yang menurut penjelasan pasal 131 ayat (1)
dinyatakan, jikalau ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, dalam
peraturan umum dan peraturan setempat, dalam aturan-aturan, peraturan polisi
dan administrasi diadakan perbedaan antara golongan Eropah, golongan Pribumi
dan Golongan Tmur Asing, maka kesemuanya ini dijalankan menurut aturan-aturan.
Selain melalui kebijakan politik hukum, juga dikenal adanya
penundukkan diri. Penundukan Diri sebagaimana diatur dalam Stb. 1917 nomor 12
ada 4 macam, yaitu :
1. Penundukan diri pada seluruh Hukum Perdata Eropa
2. Penundukan diri pada sebagian Hukum Perdata Eropa,
yaitu hanya pada hukum kekayaan harta benda saja, seperti yang dinyatakan
berlaku bagi golongan Timur Asing.
3. Penundukan diri mengenai suatu perbuatan hukum
tertentu
4. Penundukan diri secara diam-diam.
A.
ISTILAH DAN PENGERTIAN HUKUM PERDATA
Istilah hukum perdata pertama kali
diperkenalkan oleh Prof. Djojodiguno sebagai teremahan dari burgerlijkrecht
pada masa penduduka jepang. Di samping istilah itu, sinonim hukum perdata
adalah civielrecht dan privatrecht.
Para ahli memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut. Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke -19 adalah:
“suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat ecensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum public memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Pendapat lain yaitu Vollmar, dia mengartikan hukum perdata adalah:
“aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan prseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengna kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”
Para ahli memberikan batasan hukum perdata, seperti berikut. Van Dunne mengartikan hukum perdata, khususnya pada abad ke -19 adalah:
“suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat ecensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum public memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi”
Pendapat lain yaitu Vollmar, dia mengartikan hukum perdata adalah:
“aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan prseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengna kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas”
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengertian hukum perdata yang dipaparkan para ahli di atas, kajian utamnya pada pengaturan tentang perlindungan antara orang yang satu degan orang lain, akan tetapi di dalam ilmu hukum subyek hukum bukan hanya orang tetapi badan hukum juga termasuk subyek hukum, jadi untuk pengertian yang lebih sempurna yaitu keseluruhan kaidah-kaidah hukum(baik tertulis maupun tidak tertulis) yang mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan.
Di dalam hukum perdata terdapat 2 kaidah, yaitu:
1. Kaidah tertulis
Kaidah hukum perdata tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi.
2. Kaidah tidak tertulis
Kaidah hukum perdata tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum perdata yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam praktek kehidupan masyarakat (kebiasaan)
Subjek hukum dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Manusia
Manusia sama dengan orang karena manusia mempunyai hak-hak subjektif dan kewenangan hukum.
2. Badan hukum
Badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban.
Subtansi yang diatur dalam hukum perdata antara lain:
1. Hubungan keluarga
Dalam hubungan keluarga akan menimbulkan hukum tentang orang dan hukum keluarga.
2. Pergaulan masyarakat
Dalam hubungan pergaulan masyarakat akan menimbulakan hukum harta kekayaan, hukum perikatan, dan hukum waris.
Dari berbagai paparan tentang hukum perdata di atas, dapat di temukan unsur-unsurnya yaitu:
1. Adanya kaidah hukum
2. Mengatur hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain.
3. Bidang hukum yang diatur dalam hukum perdata meliputi hukum orang, hukum keluarga, hukum benda, hukum waris, hukum perikatan, serta hukum pembuktia dan kadaluarsa.
B. HUKUM PERDATA MATERIIL DI INDONESIA
Hukum perdata yang berlaku di Indonesi beranekaragam, artinya bahwa hukum perdata yang berlaku itu terdiri dari berbagai macam ketentuan hukum,di mana setiap penduduk itu tunduk pada hukumya sendiri, ada yang tunduk dengan hukum adat, hukum islam , dan hukum perdata barat. Adapun penyebab adanya pluralism hukum di Indonesia ini adalah
1. Politik Hindia Belanda
Pada pemerintahan Hindia Belanda penduduknya di bagi menjadi 3 golongan:
a. Golongan Eropa dan dipersamakan dengan itu
b. Golongan timur asing. Timur asing dibagi menjadi Timur Asing Tionghoa dan bukan Tionghoa, Seperti Arab, Pakistan. Di berlakukan hukum perdata Eropa, sedangkan yang bukan Tionghoa di berlakukan hukum adat.
c. Bumiputra,yaitu orang Indonesia asli. Diberlakukan hukum adat.
Konsekuensi logis dari pembagian golongan di atas ialah timbulnya perbedaan system hukum yang diberlakukan kepada mereka.
2. Belum adanya ketentuan hukum perdata yang berlaku secara nasional.
C. SUMBER HUKUM PERDATA TERTULIS
Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam:
1. Sumber hukum materiil
Sumber hukum materiil adalah tempat dari mana materi hukum itu diambil. Misalnya hubungan social,kekuatan politik, hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, dan keadaan georafis.
2. Sumber hukum formal
Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu berlaku.
Volamar membagi sumber hukum perdata menjadi empat mecam. Yaitu KUHperdata ,traktat, yaurisprudensi, dan kebiasaan. Dari keempat sumber tersebut dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu sumber hukum perdata tertulis dan tidak tertulis. Yang di maksud dengan sumber hukum perdata tertulis yaitu tempat ditemukannya kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tertulis. Umumnya kaidah hukum perdata tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-undanang, traktat, dan yurisprudensi. Sumber hukum perdata tidak tertulis adalah tempat ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tidak tertulis. Seperti terdapat dalam hukum kebiasaan.
Yang menjadi sumber perdata tertulis yaitu:
1. AB (algemene bepalingen van Wetgeving) ketentuan umum permerintah Hindia Belanda
2. KUHPerdata (BW)
3. KUH dagang
4. UU No 1 Tahun 1974
5. UU No 5 Tahun 1960 Tentang Agraria.
Yang dimaksud dengan traktat adalah suatu perjanjian yang dibuat antara dua Negara atau lebih dalam bidang keperdataan. Trutama erat kaitannya dengan perjanjian internasioanl. Contohnya, perjanjian bagi hasil yang dibuat antara pemerintah Indonesia denang PT Freeport Indonesia.
Yurisprudensi atau putusan pengadilan meruapakan produk yudikatif, yang berisi kaidah atau peraturan hukum yang mengikat pidahk-pihak yang berperkara terutama dalam perkara perdata. Contohnya H.R 1919 tentang pengertian perbuatan melawan hukum . dengna adanya putsan tersebut maka pengertian melawan hukum tidak menganut arti luas. Tetapi sempit. Putusan tersebut di jadikan pedoman oleh para hakim di Indonesia dalam memutskan sengketa perbutan melawan hukum.
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi 'Corpus Juris Civilis'yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)
Pada Tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal dunia pada 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia.
Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberontakan di Belgia yaitu :
• BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
• WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
hukum perdata secara etimologi
terdiri dari dua kata, yaitu hukum dan perdata. hukum berarti aturan,
undang-undang, atau norma. sedangkan perdata adalah hubungan orang yang satu
dengan yang lain. Jadi bisa disimpulkan bahwa hukum perdata adalah hukum yang
mengatur hubungan orang yang satu dengan yang lainya.
berikut beberapa pengertian dari hokum perdata, yaitu:
berikut beberapa pengertian dari hokum perdata, yaitu:
- Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat.
- Hukum Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan
- Hukum Perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingannya.
- Hukum Perdata adalah ketentuan dan peraturan yang mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya. Dari definisi-definisi tersebut diatas dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan hukum perdata ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang/badan hukum yang satu dengan orang/badan hukum yang lain di dalam masyarakat dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan (pribadi/badan hukum). Hukum perdatalah yang mengatur dan menentukan, agar dalam pergaulan masyarakat orang dapat saling mengetahui dan menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajiban antar sesamanya, sehingga kepentingan tiap-tiap orang dapat terjamin dan terpelihara dengan sebaik-baiknya.
Hukum Perdata Dalam Arti Luas dan
Hukum Perdata Dalam Arti Sempit
Hukum perdata arti luas ialah bahwa
hukum sebagaimana tertera dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (WvK) beserta sejumlah undang-undang yang disebut
undang-undang yang disebut undang-undang tambahan lainnya. Undang-undang
mengenai Koperasi, undang-undang nama perniagaan.
Hukum Perdata dalam arti sempit
ialah hukum perdata sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (BW).\ Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum “Privat
materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan perseorangan.
Hukum perdata ada kalanya dipakai dalam arti sempit, sebagai lawan “hukum
dagang”. (Subekti, 1978, hlm. 9).
Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari
hukum perdata Perancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi ‘Corpus
Juris Civilis’yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut
(hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813),
kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri
Belanda yang masih dipergunakan
terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Perancis (1813)
Pada Tahun 1814 Belanda mulai
menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda,
berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut
ONTWERP KEMPER namun sayangnya KEMPER meninggal dunia 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh
NICOLAI yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Keinginan Belanda
tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua kodifikasi
yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 oleh karena telah terjadi
pemberontakan di Belgia yaitu :
- BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda).
- WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang]
Kodifikasi ini menurut Prof Mr J,
Van Kan BW adalah merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang
disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda
KUHPerdata
Yang dimaksud dengan Hukum perdata
Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia.
Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata baratBelandayang pada
awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa
Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W.
Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan
Undang-Undang RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU
Kepailitan.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J.
Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr.
A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota yang kemudian
anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi
KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No.
23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka
berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda
tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru
berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab
Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Isi KUHPerdata
KUHPerdata terdiri dari 4 bagian
yaitu :
- Buku 1 tentang Orang / Van Personnenrecht
- Buku 2 tentang Benda / Zaakenrecht
- Buku 3 tentang Perikatan / Verbintenessenrecht
- Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian / Verjaring en Bewijs
Sejarah membuktikan bahwa Hukum Perdata yang saat ini
berlaku di Indonesia, tidak lepas dari Sejarah Hukum Perdata Eropa.
Bermula dari benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya Hukum tertulis dan Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa, oleh karena itu hukum di di Eropa tidak terintegrasi sebagaimana mestinya, dimana tiap-tiap daerah memiliki peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda.
Oleh karena adanya perbedaan terlihat jelas bahwa tidak adanya kepastian hukum yang menunjang, sehingga orang mencari jalan untuk kepastian hukum dan keseragaman hukum.
Pada tahun 1804batas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “Code Civil des Francais” yang juga dapat disebut “Code Napoleon”.
Dan mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman Romawi anatar lain masalah wessel, assuransi, dan badan-badan hukum. Akhirnya pada jaman Aufklarung (jaman baru pada sekitar abad pertengahan) akhirnya dimuat pada kitab undang-undang tersendiri dengan nama “Code de Commerce”.
Sejalan degan adanya penjajahan oleh bangsa Belanda (1809-1811), maka Raja Lodewijk Napoleon menetapkan: “Wetboek Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk Holland” yang isinya mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda (Nederland).
Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland disatukan dengan Perancis pada tahun 1811, Code Civil des Francais atau Code Napoleon ini tetap berlaku di Belanda (Nederland).
Oleh karena perkembangan jaman, dan setelah beberapa tahun kemerdekaan Belanda (Nederland) dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari Hukum Perdatanya. Dan tepatnya 5 Juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dan WVK (Wetboek van koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland namun isi dan bentuknya sebagian besar sama dengan Code Civil des Francais dan Code de Commerce.
Dan pada tahun 1948,kedua Undang-undang produk Nasional-Nederland ini diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum).
Sampai saat ini kita kenal denga kata KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlijk Wetboek). Sedangkan KUH Dagang untuk WVK (Wetboek van koophandle).
1.2. PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat.
Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan suatu pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap orang lain dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping Hukum Privat Materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang sekarang dikenal denagn HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala aperaturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
Keadaan Hukum Perdata Dewasa ini di Indonesia
Kondisi Hukum Perdata dewasa ini di Indonesia dapat dikatakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu:
Bermula dari benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya Hukum tertulis dan Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa, oleh karena itu hukum di di Eropa tidak terintegrasi sebagaimana mestinya, dimana tiap-tiap daerah memiliki peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda.
Oleh karena adanya perbedaan terlihat jelas bahwa tidak adanya kepastian hukum yang menunjang, sehingga orang mencari jalan untuk kepastian hukum dan keseragaman hukum.
Pada tahun 1804batas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “Code Civil des Francais” yang juga dapat disebut “Code Napoleon”.
Dan mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di Jaman Romawi anatar lain masalah wessel, assuransi, dan badan-badan hukum. Akhirnya pada jaman Aufklarung (jaman baru pada sekitar abad pertengahan) akhirnya dimuat pada kitab undang-undang tersendiri dengan nama “Code de Commerce”.
Sejalan degan adanya penjajahan oleh bangsa Belanda (1809-1811), maka Raja Lodewijk Napoleon menetapkan: “Wetboek Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk Holland” yang isinya mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda (Nederland).
Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland disatukan dengan Perancis pada tahun 1811, Code Civil des Francais atau Code Napoleon ini tetap berlaku di Belanda (Nederland).
Oleh karena perkembangan jaman, dan setelah beberapa tahun kemerdekaan Belanda (Nederland) dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari Hukum Perdatanya. Dan tepatnya 5 Juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dan WVK (Wetboek van koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland namun isi dan bentuknya sebagian besar sama dengan Code Civil des Francais dan Code de Commerce.
Dan pada tahun 1948,kedua Undang-undang produk Nasional-Nederland ini diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum).
Sampai saat ini kita kenal denga kata KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlijk Wetboek). Sedangkan KUH Dagang untuk WVK (Wetboek van koophandle).
1.2. PENGERTIAN DAN KEADAAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA
Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di dalam masyarakat.
Hukum Perdata dalam arti luas meliputi semua Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) ialah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam masyarakat dan kepentingan dari masing-masing yang bersangkutan. Dalam arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan suatu pihak secara timbal balik dalam hubungannya terhadap orang lain dalam suatu masyarakat tertentu.
Disamping Hukum Privat Materiil, juga dikenal Hukum Perdata Formil yang sekarang dikenal denagn HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala aperaturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
Keadaan Hukum Perdata Dewasa ini di Indonesia
Kondisi Hukum Perdata dewasa ini di Indonesia dapat dikatakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka warna. Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu:
- Faktor Ethnis disebabkan keaneka ragaman Hukum Adat Bangsa Indonesia, karena negara kita Indonesia ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
- Faktor Hostia Yuridisyang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga Golongan, yaitu:
- Golongan Eropa dan yang dipersamakan
- Golongan Bumi Putera (pribumi / bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
- Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).
Pasal 131.I.S. yaitu mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yang tersebut dalam pasal 163 I.S. diatas.
Adapun hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yaitu:
- Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang di negeri Belanda berdasarkan azas konkordansi.
- Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar Hukum Adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
- Bagi golongan timur asing (bangsa Cina, India, Arab) berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing (Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk menundukan diri kepada Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan hukum tertentu saja.
Pedoman politik bagi pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131 (I.S) (Indische Staatregeling) yang sebelumnya pasal 131 (I.S) yaitu pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokoknya sebagai berikut:
- Hukum Perdata dan Dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana harus diletakan dalam kitab Undang-undang yaitu di Kodifikasi).
- Untuk golongan bangsa Eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (sesuai azas Konkordansi).
- Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing (yaitu Tionghoa, Arab, dan lainnya) jika ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka.
- Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama denagn bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai perbuatan tertentu saja.
- Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesai ditulis di dalam Undang-undang. Maka bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu Hukum Adat.
Disamping itu ada peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti:
- Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 no7.4).
- Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan denag no 717).
Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, yaitu:
- Undang-undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912)
- Peraturan Umum tentang Koperasi (Staatsblad 1933 no 108)
- Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no 523)
- Ordonansi tentang pengangkutan di udara (Staatsblad 1938 no 98).
1.3. SISTEMATIKA HUKUM PERDATA
Sistematika Hukum Perdata Kita (BW) ada dua pendapat. Pendapat pertama yaitu, dari pemberlaku Undang-undang berisi:
Buku 1 : Berisi mengenai orang. Di dalamnya diatur hukum tentang diri seseorang dan hukum kekeluargaan.
Buku 11 : Berisi tentang hal benda. Dan di dalamnya diatur hukum kebendaan dan hukum waris.
Buku 111 : Berisi tentang hal perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan kewajiban timbal balik antar orang-orang atau pihak-pihak tetentu.
Buku 1V : Berisi tentang pembuktian dak daluarsa. Di dalamnya diatur tentang alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya daluarsa.
Pendapat yang kedua menurut Ilmu Hukum / Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu:
- Hukum rentang diri seseorang (pribadi).
Mengatur
tentang manusia sebagai subyek dan hukum, mengatur tentang prihal kecakapan
untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan
hak-hak itu dan selanjutnya tentan hal-hal yang mempengaruhi
kecakapan-kecakapan itu.
11. Hukum Kekeluargaan
Mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu:
- Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami denagn istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
111. Hukum Kekayaan
Mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
Hak-hak kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap orang, oleh karenanya dinamakan Hak Mutlak dan Hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau pihak tetetu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.
Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan.
Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat.
- Hak seorang pelukis atas karya lukisannya
- Hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
1V. Hukum Warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meningal. Disamping itu hukumwarisan mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
Pada pertemuan kedua ini dibahas tentang :11. Hukum Kekeluargaan
Mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu:
- Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami denagn istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
111. Hukum Kekayaan
Mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
Hak-hak kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap orang, oleh karenanya dinamakan Hak Mutlak dan Hak yang hanya berlaku terhadap seseorang atau pihak tetetu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.
Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan.
Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat.
- Hak seorang pelukis atas karya lukisannya
- Hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
1V. Hukum Warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meningal. Disamping itu hukumwarisan mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
a. sejarah terbentuknya Hukum Perdata BW;
b. Kedudukan BW/KUHPerdata sebagai undang-undang setelah Indonesia merdeka
c. Hukum Perdata dan Pemberlakuannya di Indonesia
Ad. 2. a. Sejarah terbentuknya Hukum Perdata BW;
Berkaitan dengan sejarah terbentuknya hukum perdataBW, dalam hal ini tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Sebaliknya sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda juga tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Code Civil Perancis” (R.Syahrani, 1992 : 12). Perjalanan sejarah dari terbentuknya BW ini, berawal dari 50 tahun sebelum Masehi, yakni saat Julius Caesar berkuasa di Eropa Barat, hukum Romawi telah berlaku di Perancis yang berdampingan dengan hukum Perancis Kuno yang berasal dari hukum Germania yang saling mempengaruhi.
Suatu ketika wilayah negeri Perancis terbelah menjadi dua daerah hukum yang berbeda. Bagian Utara adalah daerah hukum yang tidak tertulis (pays de droit coutumier), sedangkan daerah selatan merupakan daerah hukum yang tertulis (pays de droit ecrit). Di Utara berlaku hukum kebiasaan Perancis Kuno yang berasal dari hukum Germania sebelum resepsi hukum Romawi. sedangkan di Daerah Selatan berlaku hukum Romawi yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis pada pertengahan abad ke VI Masehi dari Justianus. Corpus Iuris Civilis pada zaman itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna, terdiri dari 4 bagian, yaitu (1) Codex Justiniani, (2) Pandecta, (Institutiones, dan (4) Novelles Codex Justianni berisi kumpulan undang-undang (leges lex) yang telah dibukukan oleh para ahli hukum atas perintah Kaisar Romawi yang dianggap sebagai himpunan segala macam undang-undang. Pandecta memuat kumpulan pendapat para ahli hukum Romawi yang termashur misalnya Gaius, Papinianus, Palus, Ulpianus, Modestinus dan sebagainya. Institutiones memuat tentang pengertian lembaga-lembaga hukum Romawi dan Novelles adalah kumpulan undang-undang yang dikeluarkan sesudah codex selesai. Hanya mengenai perkawinan di seluruh negeri Perancis berlaku Codex Iuris Canonici (hukum yang ditetapkan oleh Gereja Katolik Roma). Berabad-abad lamanya keadaan ini berlangsung terus dengan tidak ada kesatuan hukum.
Pada bagian kedua abad XVII di negeri Perancis telah timbul aliran-aliran yang ingin menciptakan kodifikasi hukum yang akan berlaku di negeri itu agar diperoleh kesatuan hukum Perancis. Pada akhir abad XVII, oleh Raja Perancis dibuat beberapa peraturan perundang-undangan (seperti ordonnance Sur les Donations yang mengatur mengenai soal-soal pemberian, ordonnance Sur les Tertament yang mengatur mengenai soal-soal testamen, ordonannce Sur les Substitutions fideicommissaires yang mengatur mengenai soal-soal substitusi. Kodifikasi hukum Perdata di Perancis baru berhasil diciptakan sesudah Revolusi Perancis (1789-1795), dimana pada tanggal 12 Agustus 1800 oleh Napoleon dibentuk suatu panitia yang diserahi tugas membuat kodifikasi, yang menjadi sumbernya adalah :
a. Hukum Romawi yang digali dari hasil karya-karya para sarjana bangsa Perancis yang kenamaan (Dumolin, Domat dan Pothier);
b. Hukum Kebiasaan Perancis, lebih-lebih hukum kebiasaan dari Paris;
c. Ordonnance-Ordonnance;
d. Hukum Intermediare yakni hukum yang ditetapkan di Perancis sejak permulaan Revolusi Perancis hingga Code Civil terbentuk.
Kodifikasi hukum perdata Perancis, sebagaimana dimaksudkan harus selesai dibentuk tahun 1804 dengan nama Code Civil des Francais. Code Civil Prancis ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret 1804. Setelah diadakan perubahan sedikit disana-sini, pada tahun 1807 diundangkan dengan nama Code Napolion, tapi kemudian disebut dengan Code Civil Perancis. Sejak tahun 1811 sampai tahun 1838 Code Civil Perancis ini setelah disesuaikan dengan keadaan di negeri Belanda berlaku sebagai kitab undang-undang yang resmi di negeri Belanda, karena negeri Belanda berada di bawah jajahan Perancis. Di negeri Belanda setelah berakhir pendudukan Perancis tahun 1813, maka berdasarkan Undang-Undang Dasar (Grond Wet) negeri Belanda tahun 1814 (pasal 100) dibentuk suatu panitia yang bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata. Panitia ini diketuai Mr. J.M. Kemper.
Tahun 1816 oleh Kemper disampaikan kepda Raja suatu rancangan kodifikasi hukum perdata tapi rancangan ini tidak diterima oleh para ahli hukum bangsa Belgia (pada waktu itu negeri Belanda dan negeri Belgia merupakan suatu negera) karena rencana tersebut disusn Kemper berdasarkan hukum Belanda kuno. Sedangkan para ahli hukum bangsa Belgia menghendaki agar rancangan itu disusun menurut Code Civil Perancis. Setelah mendapat sedikit perobahan, maka rancangan itu disampaikan kepada Perwakilan Rakyat Belanda (Tweede Kamer) pada tanggal 22 Nopember 1820. Rencana ini terkenal dengan nama
“ontwerp Kemper” (Rencana Kemper). Dalam perdebatan di Perwakilan Rakyat Belanda, rencana Kemper ini mendapat tantangan yang hebat dari anggota-anggota bangsa Belgia (wakil-wakil Nederland Selatan) yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Tinggi di Kota Luik (Belgia) yang bernama Nicolai.
Dalam tahun 1822 rencana Kemper itu ditolak oleh Perwakilan Rakyat Belanda. Setelah Kemper meninggal dunia tahun 1824, pembuatan kodifikasi dipimpin oleh Nicolai dengan suatu metode kerja yang baru yaitu dengan menyusun daftar pertanyaan tentang hukum yang berlaku yang akan dinilai parlemen. Setelah diketahui kehendak mayoritas, panitia lalu menyusun rencana-rencana dan mengajukannya ke parlemen (Perwakilan Rakyat) untuk diputuskan. Demikianlah cara kerja yang dilakukaan semenjak tahun 1822 sampai 1826 bagian demi bagian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda diselesaikan dan setiap bagian dimuat tersendiri dalam Staatsblad, tetapi tanggal mulai berlakunya tentu saja ditangguhkan sampai seluruhnya selesai. Dalam tahun 1829 pekerjaan itu selesai dan diakhiri dengan baik. Undang-undang yang tadinya terpisah dihimpun dalam satu kitab undang-undang dan diberi nomor urut lalu diterbutkan. Berlakunya ditetapkan tanggal 1 Februari 1931. Pada waktu yang sama dinyatakan pula berlaku Wetboek van Koophandel (WvK, Burgelijke Rechtsvordering ( BRv). Sedangkan Wetboek van Strafrecht (WvS) menyusul kemudian.
Berdasarkan azas konkordansi maka peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda diberlakukan juga buat orang-orang golongan Eropah di Hindia Belanda. Untuk itu, dengan firman Raja Belanda tanggal 15 Agustus 1839 No. 102 dibentuk suatu komisi dengan tugas membuat rencana peraturan-peraturan untuk memberlakukan peraturan itu sekiranya dipandang perlu. Komisi itu terdiri dari Mr.C.J Scholten, Mr. I Scheiner dan Mr. I.F.H van Nos. Setelah 6 tahun bekerja komisi tersebut dibubarkan (dengan Firman Raja tanggal 15 Desember 1845 No. 68) berhubung dengan permintaan berhentinya Mr. Scholten van Out Haaslem oleh karena selalu terganggu kesehatannya. Kemudian dengan Firman Raja tanggal 15 Desember 1845 timbangan Negara Jhr. Mr. H.I Wichers diutus ke Hindia Belanda untuk memangku jabatan Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara sebelum berangkat dia diwajibkan bersama-sama Mr. Scholten van Out Haarlem untuk menyiapakan rencana peralatan hukum buat Hindia Belanda yang masih belum selesai dikerjakan. Rencana peraturan yang telah dihasilkan adalah :
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlandsch Indie (Ketentuan umum perundang-undangan di Indonesia);
2. Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata);
3. Wetboek van Koophandel ( K.U.H. Dagang ).
4. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO = Peraturan susunan pengadilan dan pengurusan justisi);
5. Enige Bepalingen betreffende Misdrijven begaan tergelegenheid van Faillissement en bij Kennelijk Overmogen, mitsgader bij Surseance van Betaling (Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan pailit dan dalam keadaan nyata tidak mampu membayar)
Sebagai hasil kerja Mr. Wicher dan Mr. Scholten van Out Haarlem maka dikeluarkan Firman Raja tanggal 16 Mei 1846 No. 1, dan beberapa hari kemudian berangkatlah Mr. Wicher ke Hindia Belanda membawa kitab-kitab hukum yang telah selesai dikerjakannya serta telah ditandatangani oleh Raja untuk diberlakukan di Hindia Belanda. Firman Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 No. 1 itu semuanya terdiri dari 9 pasal dan isinya diumumkan seluruhnya di Hindia Belanda dengan Stb. 1847 no. 23. Dalam pasal 1 nya antara lain dinyatakan bahwa peraturan-peraturan hukum yang dibuat untuk Hindia Belanda adalah : (1) Ketentuan umum perundang-undangan di Indonesia, (2) Kitab undang-undang hukum perdata, (3) Kitab undang-undang hukum dagang. (4) Peraturan susunan pengadilan dan pengurusan justisi, dan (5) Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan pailit dan dalam keadaan nyata tidak mampu membayar. Kemudian dalam pasal 2 Firman Raja itu ditentukan, bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda akan mengatur tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengumumkan peraturan-peraturan tersebut di atas di dalam bentuk yang lazim digunakan di Hindia Belanda, sebelum atau pada tanggal 18 Mei 1847 serta untuk memberlakukannya sebelum atau pada tanggal 1 Januari 1848.
Dalam sejarah tercatat, perjalanan kapal yang membawa kitab-kitab hukum itu ternyata terlambat tiba di Indonesia, sehingga menimbulkan terhambatnya segala persiapan untuk memberlakukan perundang-undangan yang baru itu. Maka oleh karena itu dengan Firman Raja tanggal 10 Pebruari 1847 Nomor 60 diberikan kuasa kepada Gubernur Hindia Belanda untuk mengundurkan penetapan saat berlakunya peraturan-peraturan hukum tersebut. Persiapan memberlakukan peraturan-peraturan hukum tersebut dikerjakan oleh Mr. Wichers yang di Hindia Belanda menjabat sebagai anggota Raad van State Belanda yang diperbantukan pada Gubernur Jenderal. Tugas Gubernur Jenderal adalah memberlakukan peraturan-peraturan hukum tersebut (pasal 2 Firman Raja tanggal 16 Mei 1846 no. 1). Dalam hubungan ini Mr. Wichers telah membuat beberapa rancangan peraturan antara lain “Reglement op de Uitoefening van de Politie, de Burgerlijke Rechtspleging en de Strafvordering onder de Indonesiers (golongan hukum Indonesia asli) en de Vreemde Oosterlingen (golongan hukum Timur Asing) op Java en Madoera” (Stb. 1848 No. 16 jo 57) yang sekrang sebagai Reglemen Indonesia Baru (RIB).
Akhirnya dengan suatu peraturan penjalan (invoeringsverordening) yang bernama “Bepalingen omtrent de Invoering van en de Overgang tot de Niewe Wetgeving (Stb. 1848 No. 10) yang disingkat dengan “Overgangsbepalingen” (peraturan peralihan) yang juga disusun oleh Mr. Wichers, maka kodifikasi hukum perdata (Burgerlijk Wetboek) menjadi berlaku di Hindia Belanda tanggal 1 Mei Tahun 1848. Pasal 1 Overgangbapalingen itu menyatakan bahwa, “pada waktu kodifikasi hukum tersebut mulai berlaku, maka hukum Belanda Kuno, hukum Romawi dan semua statuta aturan yang baru itu”. Dalam pada itu menurut pasal 2 nya, hal tersebut tidak mengenai hukum pidana.
Berdasarkan fakta-fakta sejarah tentang terbentuknya Code Civil Perancis, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda dan Burgelijk Wetboek yang diungkapkan di atas ini, maka jelaslah bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) yang sekarang masih berlaku di Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang telah menyerap atau mengambil alih secara tidak langsung asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang berasal dari hukum Romawi, hukum Perancis kuno, Belanda kuno dan sudah tentu pula hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dimana dan dimasa kodifikasi tersebut diciptakan yakni pada waktu ratusan tahun yang silam.
Ad.2..b. Kedudukan BW/KUHPerdata sebagai undang-undang setelah Indonesia merdeka
Era globalisasi yang melanda dunia pada dekade terakhir, berpengaruh terhadap Indonesia yang tidak henti-hentinya dilanda berbagai krisis, baik ekonomi, politik, HAM, keamanan negara dan sebagainya, tanpa kompromi, Indonesia sebagai Negara besar harus tetap eksis memperhatikan perkembangan pergaulannya dengan bangsa lain dimuka bumi ini, karena Indonesia sendiri adalah salah satu komponen penghuninya yang harus tetap berhubungan dengan negara dan bangsa lain. Dalam pada itu, sebagai akibat adanya kemungkinan timbulnya pengaruh secara timbal balik arus era globalisasi dan informasi dimaksud, maka salah satunya adalah mempersiapkan keberadaan hukum Perdata Nasional yang mempunyai ciri khusus dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri, namun mampu menjawab tantangan kedepan dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif dengan bangsa-bangsa lainnya, khusus dengan masuknya unsur-unsur asing (foreign element) yang telah melintasi batas negara sendiri, sehingga mau tidak mau dan sangat mendesak adalah keberadaan hukum perdata nasional dimaksud.
Berkaitan dengan itu, sebenarnya sejak jauh hari salah seorang pakar hukum yang sangat disegani dan dihormati oleh kalangan ilmuan hukum, beliau adalah Prof. Dr. Mr. R. Soepomo, pernah mengemukakan dan mengingatkan dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus 1947;
“bahwa hukum dalam masyarakat itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu sendiri, maka Hukum Perdata Nasional nantinya harus pula dapat menyesuaikan dirinya dengan cita-cita Nasional menurut aspirasi Bangsa Indonesia”. Karena itu dalam menanggapi perkembangan hukum perdata dewasa ini perlu diarahkan kepada arus pembawaan jiwa dan kebudaayan Nasional menuju kepada penemuan Hukum Perdata Nasional yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tindak-tindak perdata, baik yang bersifat dan beraliran barat maupun yang bersendi kepada norma-norma kebuyaan timur” (A.Ichsan, 1969 : 5)
Beranjak dari pendapat ahli hukum tersebut, hal ini dapat diartikan bahwa “adanya harapan agar para penerus bangsa ini untuk lebih memperhatikan kehidupan bangsanya disamping tetap memperhatikan pergaulan dengan bangsa lainnya. Dikatakan demikian, karena berbagai produk peraturan-peraturan peninggalan penjajahan Belanda, baik itu Burgerlijk WetBoek (BW) selanjutnya disebut KUHPerdata, WetBoek Van Koophandel (WvK) selanjutnya disebut dengan KUHDagang, dapat dikatakan telah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keadaan, walaupun sebenarnya telah ada berbagai produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara, seperti Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995, Undang-udang Hak Tanggungan Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas Tanah No. 4 Tahun 1996, Undang-undang Jaminan Fiducia No. 42 Tahun 1999, Undang-undang Yayasan No. 16 Tahun 2001, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan lain-lain.
Adanya ketentuan-ketentuan di atas dan peraturan lainnya sangat berpengaruh terhadap keutuhan ketentuan peninggalan penjajahan dan oleh karenanya keadaan itu janganlah membuat bangsa ini tertidur dan dinina bobokkan dengan adanya Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang dibuat tanpa batas yang jelas dan tegas tentang saat kapan berakhirnya. Mencerermati keadaan tersebut wajarlah bahwa Sahardjo, S.H., waktu menjadi Menteri Kehakiman RI pada Tahun 1962 memunculkan suatu gagasan yang diajukan dalam rapat Badan Perancang Hukum Nasional (BPHN) menyarankan bahwa: “khusus KUHPerdata tidak lagi sebagai undang-undang, melainkan sebagai dokumen saja yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis” (Z.A. Ahmad, 1986 : 47). Selanjutnya gagasan Sahardjo, S.H. tersebut dikemukakan lagi dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) di Yogyakarta Tahun 1962 melalui prasaran Mr. Wirjono Prodjodikoro dengan judul; “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”, di mana isi prasaran tersebut mengemukakan hal-hal sebagai berikuit :
1. Peraturan dari zaman Belanda yang sekarang masih berlaku dan belum dicabut, sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat Indonesia saat ini;
2. Mempertanyakan; “apakah BW harus menunggu dicabut dulu, untuk memberhentikan berlakunya sebagai Undang-undang di Indonesia”;
3. Gagasan Sahardjo, S.H., untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang tetapi hanya sebagai dokumen yang berisi hukum tidak tertulis saja, adalah sangat menarik. Artinya dengan menganggapnya sebagai dokumen, para hakim akan lebih leluasa untuk mengenyampingkan pasal-pasal BW yang tidak sesuai lagi dengan kepentingan Nasional;
4. Karena BW hanya tinggal sebagai pedoman saja, maka demi kepentingan hukum dia perlu secara tegas dicabut. Pencabutannya tidak perlu dengan suatu Undang-undang, tetapi cukup dengan suatu pernyataan saja dari Pemerintah atau Mahkamah Agung (Z.A. Ahmad, 1986 : 47).
Kelanjutan gagasan Sahardjo, S.H., dibawa pada Kongres MIPI mendapat tanggapan positif dari Mr. Wirjono Prodjodikoro yang waktu itu sebagai Ketua Mahkamah Agung RI yang mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 yang berisi gagasan; “untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang, konsekuensi gagasan ini adalah dengan mencabut berlakunya sebanyak delapan pasal dari BW tersebut”. Dasar pertimbangan keluarnya SEMA berawal dari prasaran dalam Kongres MIPI Tahun 1962, hadirin yang umumnya menyetujuinya dan demikian juga halnya yang tidak ikut kongres juga menerimanya. Tetapi kemudian dalam kenyataannya harus diakui banyak juga dari mereka yang tidak hadir yang menentang gagasan Sahardjo, S.H. dan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tersebut, diantaranya adalah; Prof. Mr. Mahadi dan demikian juga Prof. Subekti, S.H., sebagai pengganti Prof. Mr. Wirjono Prodjodikoro sebagai ketua Mahkamah Agung pada waktu itu. Ketidak setujuan Prof. Subekti dikemukakannya di depan Seminar Hukum Nsional II di Semarang pada Tahun 1968 dan pada saat ceramah dihadapan dosen hukum dagang saat mengikuti “Post Graduate Course” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta Tahun 1975. Menurut Subekti, bahwa :
“baik gagasan seorang Menteri Kehakiman maupun Surat Edaran mahkamah Agung, bukanlah merupakan sesuatu sumber hukum formal, paling-paling dia hanya dapat dianggap sebagai suatu anjuran pada para hakim untuk jangan takut-takut menyingkirkan pasal-pasal dari BW yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan membikin yurisprudensi, sebab hanya yurisprudensilah yang dapat menyingkirkan pasal-pasal dari BW itu, seperti; Pasal 108 BW, Arrest 31 Januari 1919 yang memperluas pengertian Pasal 1365 BW, Arrest Bierbrouwerij Oktober 1925 yang menyingkirkan Pasal 1152 BW yang mengharuskan penyerahan barang yang digadaikan, tetap dalam kekuasaan orang yang menggadaikan”. (Z.A. Ahmad, 1986 : 51).
Melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan KUHPerdata sebagai ketentuan undang-undang hingga saat ini masih terus diperdebatkan, artinya usulan-usulan yang menganggap dia hanya sebagai dokumen hukum saja tetap menjadi perdebatan diantara kalangan ahli hukum, tetapi setidak-tidaknya ide itu perlu terus dipikirkan dan dipertimbangkan, terutama baik kalangan ahli hukum, peraktisi hukum dan para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan, untuk terus menggali dan mencermati berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, dan tidak terpaku dengan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang tidak membuat batasan yang jelas dan tegas tentang limit waktu berakhirnya ketentuan peninggalan penjajahan tersebut. Ditambah lagi ketentuan-ketentuan peninggalan penjajahan sudah berusia cukup lama, di mana di negeri Belanda sendiri sebenarnya sudah sejak lama tidak diberlakukan lagi. Maka sudah sewajarnyalah bangsa ini memikirkan tentang bagaimana ketentuan-ketentuan yang berkaitan peraturan-peraturan peninggalan penjajahan tersebut diganti dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi dengan jalan terus berupaya membuat dan memberlakukan ketentuan baru yang sesuai dengan keadaan bangsa dan kemajuan zaman, karena ketentuan-ketentuan yang bersifat keperdataan dalam perkembangannya dan penerapannya dapat saja dipengaruhi oleh berbagai aspek hukum lainnya, seperti; aspek hukum pidana, administrasi maupun ketentuan hukum Internasional sebagai akibat pengaruh global dan hubungan antar warga yang berlainan kewarganegaraannya.
Dalam pada itu, tentang bagaimana kedudukan Hukum Perdata BW khususnya KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) sebagaimana dimaksudkan di atas, Saleh Adiwinata, mengemukakan “Persoalan ini pertama kali dilontarkan oleh Menteri Kehakiman RI tahun 1962 pada salah satu Rapat Kerja Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bulan Mei tahun 1962″ (S. Adiwinata, 1983; 26). Menurut Saleh, dalam hal mana; “Menteri Kehakiman, pada waktu itu Sahardjo, SH, melontarkan suatu problema hukum : “Apakah BW sebagai kodifikasi tidak telah habis masa berlakunya pada saat kita memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 ?”. Sahardjo berpendapat bahwa BW tidak lagi sebagai suatu undang-undang melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis. Dengan kata lain BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi Rechtsboek yang hanya dipakai suatu pedoman” (S. Adiwinata, 1983; 26).
Menanggapi persoalan yang dikemukakan Menteri Kehakiman Sahardjo tersebut dalam pada itu Mahadi berpendapat sebagai berikut:
1. BW sebagai kodifikasi sudah tidak berlaku lagi.
2. Yang masih berlaku ialah aturan-aturannya, yang tidak bertentangan dengan semangat serta suasana kemerdekaan.
3. Diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrina untuk menetapkan aturan mana yang masih berlaku dan aturan mana yang tidak bisa dipakai lagi.
4. Tidak setuju diambil suatu tindakan legislatif untuk menyatakan bahwa aturan-aturan BW dicabut sebagai aturan-aturan tertulis. Tegasnya, tidak setuju, untuk menjadikan aturan-aturan BW yang masih bisa berlaku menjadi hukum kebiasaan (hukum adat), sebab :
a. Kelompok-kelompok hukum, yang sekarang di atur dalam BW, akan menjelma nanti di dalam hukum nasional kita juga dalam bentuk tertulis. Setapak kearah itu telah kita lakukan yaitu sebahagian dari Buku II telah diatur secara lain di dalam Undang-undang Pokok Agraria. Hukum Perjanjian (Buku III) sedang dalam perencanaan Hukum Acara Perdata, yang melingkupi sebahagian dari Buku IV sedang dirancangkan. Dan sebagainya. Jadi, tidak logis kalau yang tertulis sekarang itu dijadikan tidak tertulis, untuk kemudian dijadikan tertulis kembali (meskipun dengan perubahan-perubahan).
b. Dengan berlakunya aturan-aturan BW sebagai hukum adat, tidak hilang segi diskriminatifnya. Mungkin hilang segi intergentilnya, tapi masih tetap ada segi “interlokalnya”.
c. Dengan memperlakukan BW sebagai hukum adat, tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan peraturan-peraturan tentang Burgerlijke Stand sebagai aturan-aturan tertulis. Peraturan-peraturan tentang Burgerlike Stand sebagai aturan-aturan tertulis. Peraturan-peraturan tentang Burgerlike Stand nyata-nyata bersifat diskriminatif, sebab pada umumnya tidak ada Burgerlijke Stand untuk sebagain besar dari warga negara Indonesia.
d. Kedudukan BW rasanya harus kita tilik bergandengan dengan kedudukan KUH Dagang. Dapatkah kita membuat pernyataan bahwa aturan-aturannya berlaku sebagai hukum adat ?, Apakah tidak ada segi-segi internasionalnya, bandingkan dengan wesel.
e. Menjadikan aturan-aturan BW sebagai hukum adat mempunyai akibat psikologis terhadap alam pemikiran hakim madya, yaitu para hakim muda lepasan SMKA dan para hakim bekas-bekas pegawai administratif yang tidak sedikit jumlahnya itu. Sekarang mereka mempunyai perpegangan, pernama norma hukum tertulis dan kedua yurisprudensi. Jika aturan-aturan BW dijadikan hukum adat, maka hanya tinggal satu pegangan ini, kata Mahadi, tidak membawa akibat baik kepada mutu keputusan-keputusan hakim yang bersangkutan.(S. Adiwinata, 1983; 34-35).
Mahadi akhirnya mengusulkan agar persoalan ini diserahkan kepada Mahkamah Agung melalui yurisprudensinya serta melalui jalan lain di dalam rangka peradilan terpimpin, dibantu oleh para pengarang di dalam majalah hukum, untuk menjelaskan aturan-aturan mana dari BW itu yang dapat dipandang sebagai tidak berlaku lagi. Kemudian gagasan Sahardjo yang menganggap BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi Rechtsboek ini dibawa ke dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI-sekarang LIPI) II yang diadakan di Yogyakarta pada bulan Oktober 1962, yang dikemukakan Wirjono Prodjodikoro, dalam prasarannya yang berjudul “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”, di mana dalam prasarannya itu dikemukakan pemikiran :
1. Mengingat kenyataan bahwa BW oleh penjajah Belanda dengan sengaja disusun sebagai tiruan belaka dari BW di negeri Belanda dan untuk pertama-tama diperlakukan buat orang-orang Belanda di Indonesia, yang sudah merdeka lepas dari belenggu penjajahan Belanda itu, masih pada tempatnyakah untuk memandang BW tersebut sejajar dengan suatu Undang-undang yang secara resmi berlaku di Indonesia ?. Dengan kata lain apakah BW yang bersifat kolonial masih pantas secara resmi dicabut dulu untuk menghentikan berlakunya di Indonesia sebagai undang-undang?;
2. Gagasan Menteri Kehakiman Sahardjo, dalam sidang Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pada bulan Mei 1962 yang menganggap BW tidak lagi sebagai suatu undang-undang, melainkan hanya sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis, sangat menarik hati, oleh karena dengan demikian para penguasa terutama para hakim lebih leluasa untuk mengesampingkan beberapa Pasal dari BW yang tidak sesuai dengan Indonesia;
3. Namun oleh karena dalam gagasan tersebut, BW masih tetap sebagai pedoman yang harus diperhatikan seperlunya oleh para pengusa, maka untuk kepastian hukum masih sangat perlu diusahakan sekuat tenaga, agar dalam waktu yang tidak terlalu lama, BW sebagai pedomanpun harus dihilangkan sama sekali dari Bumi Indonesia secara tegas, yaitu dengan suatu pencabutan, tidak dengan undang-undang, melainkan dengan suatu pernyataan Pemerintah atau dari Mahkamah Agung.(Wirjono.P, 1979 : 7-11)
Gagasan tentang kedudukan hukum BW yang dikemukakan Wirjono dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut, mendapatkan sambutan dan persetujuan, di mana Mahkamah Agung menyetujuinya dan sebagai konsekuensinya, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963 yang disebarluaskan kepada semua PN dan PT di seluruh Indonesia. Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 tentang “gagasan menganggap Burgerlijk Wetboek tidak sebagai undang-undang”. Sebagai konsekwensi dari gagasan tersebut, kemudian Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi antara lain pasal-pasal berikut dari Burgerlijk Wetboek :
Pasal-pasal 108 dan 110 BW tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin dan bantuan suami.
1. Pasal 284 ayat (3) BW mengenai pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan oleh seorang perempuan Indonesia asli. Dengan demikian, pengakuan anak itu tidak lagi berakibat terputusnya perhubungan hukum antara Ibu dan Anak, sehingga juga tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua warga negara Indonesia.
2. Pasal 1682 BW yang mengharuskan dilakukannya suatu perhibahan dengan akta Notaris.
3. Pasal 1579 BW yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang si pemilik barang tidak dapat menghentikan persewaan dengan mengatakan, bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada waktu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan.
4. Pasal 1283 BW yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta di muka hakim, apabila gugatan ini didahului dengan penagihan tertulis.
Mahkamah Agung sudah pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan, oleh karena sitergugat masih dapat menghindarkan terkabulnya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
5. Pasal 1460 BW tentang resiko seorang pembeli barang, pasal mana menentukan, bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual, sejak saat itu adalah tanggung jawab pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukakan. Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari tiap-tiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertanggungan jawab atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua belah pihak, dan kalau ya, sampai kapan saatnya.
6. Pasal 1603 x ayat (1) dan ayat (2) BW yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropah disatu pihak dan bukan orang Eropah di lain pihak mengenai perjanjian perburuhan.
Ad.2. c. Hukum Perdata dan Pemberlakuannya di Indonesia
Hukum perdata di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam (pluralistis), dimana masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum perdata sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi. Keanekaragaman hukum perdata di Indonesia ini sebenarnya sudah berlangsung lama, bahkan sejak kedatangan orang Belanda di Indonesia pada tahun 1596. Keaneka ragaman hukum ini berawal pada ketentuan dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang membagi penduduk Hindia Belanda berdasarkan atas tiga golongan yaitu :
1. Golongan Eropah, ialah (a) semua orang Belanda, (b) semua orang Eropah lainnya, (c) semua orang Jepang, (d) semua orang yang berasal dari tempat lain yang dinegaranya tunduk kepada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan atas yang sama seperti hukum Belanda, dan (e) anak sah atau diakui menurut undang-undang, dan anak yang dimaksud sub b dan c yang lahir di Hindia Belanda;
2. Golongan Bumiputera, ialah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia Asli, yang tidak beralih masuk golongan lain dan mereka yang semua termasuk golongan lain yang telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia;Golongan Timur Asing, ialah semua orang yang bukan golongan Eropah dan golongan Bumiputera
3. Selanjutnya dalam pasal 131 IS dinyatakan bahwa “bagi golongan Eropah berlaku hukum di negeri Belanda (yaitu hukum Eropah atau hukum Barat) dan bagi golongan-golongan lainnya (Bumiputera dan Timur Asing) berlaku hukum adat masing-masing”. Kemudian apabila kepentingan umum serta kepentingan sosial mereka menghendakinya, maka hukum untuk golongan Eropah dapat dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan, dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama.
Berdasar ketentuan Pasal 131 IS di atas, maka kodifikasi hukum perdata hanya berlaku bagi golongan Eropah dan mereka yang dipersamakan. Sementara itu bagi golongan Bumiputera dan timur asing berlaku hukum adat mereka masing-masing kecuali sejak tahun 1855 hukum perdata Eropah diperlakukan terhadap golongan timur asing selain hukum keluarga dan waris. Selanjutnya ada beberapa peraturan yang khusus dibuat untuk Bumiputera seperti ; ordonansi perkawinan bangsa Indonesia yang beragama Kristen (Stb. 1933 No. 74), ordonansi tentang maskapai Andil Indonesia, disingkat dengan IMA (Stb. 1939 No. 569 jo 717 dan ordonansi tentang perkumpulan bangsa Indonesia (Stb. 1939 No. 570 jo. No. 717).
Selanjutnya orang-orang bukan Eropah dapat dengan suka rela menunjukan diri kepada hukum perdata Eropah hal ini diatur dalam Stb. 1917 No. 17 yang diberi nama dengan “Regeling Nopens de Vrijwillige Onderwerping aan het Europeesch Privatrecht” (Peraturan mengenai penundukan diri dengan suka rela kepada hukum perdata Eropah. Peraturan ini mengenal empat macam penundukan diri yaitu: penundukan diri kepada seluruh hukum perdata Eropah (pasal 1 s/d 17), penundukan diri pada perbuatan hukum tertentu (pasal 29). Mengenai pasal 29 tersebut menentukan jika seorang bangsa Indonesia Asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal atau tidak diatur dalam hukumnya sendiri, maka ia dianggap secara diam-diam menundukan dirinya pada hukum perdata Eropah misalnya menandatangani aksep (surat kesanggupan untuk membayar sejumlah uang), menandatangani wesel, menandatangani perjanjian asuransi dan sebagainya.
Diadakannya lembaga penundukkan diri ini, sedikitnya banyaknya adalah untuk kepentingan orang-orang golongan Eropah sendiri. Dikatakan demikian sebab seperti dinyatakan oleh Mr. C.J Scholten ; “bahwa penundukkan sukarela akan memberi keamanan besar dan keuntungan kepada orang Eropah, sebab kalau mereka membuat perjanjian atau perikatan dengan orang-orang yang tidak tergolong ke dalam orang Eropah, dengan memperlakukan hukum Eropah atas perjanjian yang dibuatnya itu. Dengan demikian kepentingan orang Eropah dapat diamankan karena hukum Eropah merupakan hukum tertulis yang akan lebih banyak memberikan kepastian hukum dari pada hukum adat yang tidak tertulis. Lembaga penundukan diri secara sukarela tidak mungkin terjadi sebaliknya, artinya lembaga ini hanya mungkin dilakukan oleh orang Indonesia Asli dan Timur Asing terhadap hukum Perdata Eropah, dan tidak mungkin terjadi penundukan diri secara suka rela dari orang eropah atau timur asing terhadap hukum adat.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa lembaga penundukan diri kepada hukum perdata Eropah bagi golongan Timur Asing sudah hampir tidak relevan lagi dengan adanya peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79. Sebab dengan peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 dan Wetbooek van Koophandel) dinyatakan berlaku terhadap orang golongan timur asing, kecuali hukum keluarga dan hukum waris. Pada Tahun 1917 mulai di adakan pembedaan antara golongan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa, karena untuk golongan Timur Asing Tionghoa dianggap bahwa hukum Eropah yang sudah berlaku bagi mereka dapat diperluas lagi. Peraturan tersendiri mengenai hukum perdata ini bagi mereka, termuat dalam Stb. 1917 No. 129 (yang baru berlaku untuk seluruh Indonesia sejak tanggal 1 September 1925). Menurut peraturan ini seluruh hukum perdata Eropah berlaku bagi mereka, kecuali pasal-pasal mengenai Burgerlijk Stand yang termuat dalam bagian 2 dan 3 titel 4 buku I BW, dimana bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa diadakan Burgerlijk Stand tersendiri, serta peraturan tersendiri tentang pengangkatan anak (adopsi) pada bagian II dari Stb. 1917 No. 129 tersebut.
Dalam pada itu, bagi orang-orang golongan Timur Asing bukan Tionghoa (Arab, India, Pakistan dll), berdasarkan peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79. Kemudian dirubah dan ditambah dengan Stb. 1924 No. 556 tanggal 9 Desember 1924 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1925, hukum perdata Eropah berlaku bagi mereka, kecuali mengenai hukum keluarga dan hukum waris, dimana untuk kedua bidang hukum ini tetap berlaku hukum adat mereka sendiri. Tetapi mengenai pembuatan wasiat (testament) hukum perdata Eropah berlaku juga bagi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar